Cari Blog Ini

Minggu, 23 September 2012

Teori Strukturalisme Sastra

Teori strukturalisme sastra merupakan sebuah teori pendekatan terhadap teks-teks sastra yang menekankan keseluruhan relasi antara berbagai unsur teks. Unsur-unsur teks secara berdiri sendiri tidaklah penting. Unsur-unsur itu hanya memperoleh artinya di dalam relasi, baik relasi asosiasi ataupun relasi oposisi. Relasi-relasi yang dipelajari dapat berkaitan dengan mikroteks (kata, kalimat), keseluruhan yang lebih luas (bait, bab), maupun intertekstual (karya-karya lain dalam periode tertentu). Relasi tersebut dapat berwujud ulangan, gradasi, ataupun kontras dan parodi (Hartoko, 1986: 135-136).

Istilah kritik strukturalisme secara khusus mengacu kepada praktik kritik sastra yang mendasarkan model analisisnya pada teori linguistik modern. tetapi umumnya strukturalisme mengacu kepada sekelompok penulis di Paris yang menerapkan metode dan istilah-istilah analisis yang dikembangkan oleh Ferdinan de Saussure (Abrams, 1981: 188-190). Strukturalisme menentang teori mimetik, yang berpandangan bahwa karya sastra adalah ( tiruan kenyataan), teori ekspresif, yang menganggap sastra pertama-tama sebagai ungkapan perasaan dan watak pengarang, dan menentang teori-teori yang menganggap sastra sebagai media komunikasi antara pengarang dan pembacanya.

Teori strukturalisme memiliki latar belakang sejarah evolusi yang cukup panjang dan berkembang secara dinamis. Dalam perkembangan itu terdapat banyak konsep dan istilah yang berbeda-beda, bahkan saling bertentangan. Misalnya, strukturalisme di Perancis tidak memiliki kaftan erat dengan strukturalisme ajaran Boas, Sapir, dan Whorf di Amerika. Akan tetapi semua pemikiran strukturalisme dapat dipersatukan dengan adanya pembaruan dalam ilmu bahasa yang dirintis oleh Ferdinand de Saussure. Jadi walaupun terdapat banyak perbedaan antara pemikir-pemikir strukturalis, namun titik persamaannya adalah bahwa mereka semua memiliki kaitan tertentu dengan prinsip-prinsip dasar linguistik Saussure (Bertens, 1985: 379-381).

Ferdinand de Saussure meletakkan dasar bagi linguistik modem melalui mazhab yang didirikannya, yaitu mazhab Jenewa. Menurut Saussure prinsip dasar linguistik adalah adanya perbedaan yang jelas antara signifiant (bentuk, tanda, lambang) dan signifie (yang ditandakan), antara parole (tuturan) dan langue (bahasa), dan antara sinkronis dan diakronis. Dengan klasifikasi yang tegas dan jelas ini ilmu bahasa dimungkinkan berkembang menjadi ilmu yang otonom, di mana fenomena bahasa dapat dijelaskan dan dianalisis tanpa mendasarkan dirt atas apa pun yang letaknya di luar bahasa. Saussure membawa perputaran perspektif yang radikal dart pendekatan diakronik ke pendekatan sinkronik. Sistem dan metode linguistik mulai berkembang secara ilmiah dan menghasilkan teori-teori yang segera dapat diterima secara luas. Keberhasilan studi linguistik kemudian diikuti oleh berbagai cabang ilmu lain seperti antropologi, filsafat, psikoanalisis, puisi, dan analisis cerita.

Jan Mukarovsky memperkenalkan konsep kembar artefakta-objek-estetik. Sastra dianggap sebagai sebuah fakta semiotik yang tetap. Teks-teks sastra dianggap sebagai suatu tanda majemuk dalam konteks luas yang meliputi sistem-sistem sastra dan sosial.

Sklovsky mengembangkan konsep otomatisasi dan deotomatisasi, yang serupa dengan konsep Roman Jakobson tentang familiarisasi dan defamiliarisasi. Dasar anggapan mereka adalah bahwa bahasa sastra sering kali memunculkan gaya yang berbeda dari gaya bahasa sehari-hari maupun gaya bahasa ilmiah. Struktur bahasa ini pun sering kali menghadirkan berbagai pola yang menyimpang dan tidak biasa.

Roland Barthes danJulia Kristeva(Strukturalisme Perancis) mengambangkan seni penafsiran struktural berdasarkan kode-kode bahasa teks sastra. Melalui kode bahasa itu, diungkapkan kode-kode retorika, psikoanalitis, sosiokultural. Mereka menekankan bahwa sebuah karya sastra haruslah dipandang secara otonom. Puisi khususnya dan sastra umumnya harus diteliti secara objektif (yakni aspek intrinsiknya). Keindahan sastra terletak pada penggunaan bahasanya yang khas yang mengandung efek-efek estetik. Aspek-aspek ekstrinsik seperti ideologi, moral, sosiokultural, psikologi, dan agama tidaklah indah pada dirinya sendiri melainkan karena dituangkan dalam cara tertentu melalui sarana bahasa puitik.

Teori strukturalisme sastra, sesuai dengan penjelasan di atas, dapat dipandang sebagai teori yang ilmiah mengingat terpenuhinya tiga ciri ilmiah.

Ciri-ciri ilmiah tersebut adalah:
  1. Sebagai aktivitas yang bersifat intelektual, teori strukturalisme sastra mengarah pada tujuan yang jelas yakni eksplikasi tekstual,
  2. Sebagai metode ilmiah, teori ini memiliki cara kerja teknis dan rangkaian langkah-langkah yang tertib untuk mencapai simpulan yang valid, yakni melalui pengkajian ergosentrik,
  3. Sebagai pengetahuan, teori strukturalisme sastra dapat dipelajari dan dipahami secara umum dan luas serta dapat dibuktikan kebenaran cara kerjanya secara cermat.
Contoh Puisi!
Usia 44
--Joko Pinurbo--

Dua kursi kurus duduk gelisah
Dibawah pohon hujan di pojok halaman
Dua ekor celana terbang rendah
Dengan kepak sayap yang makin pelan.
Yang warnanya putih hinggap di kursi kiri.
Yang putih warnanya hinggap di kursi kanan
Dua ekor celana, dua ekor sepi
Menggigil riang diatas kursi
Di bawah rindang hujan dipojok halaman
Dan berkicau saja mereka sepanjang petang. 
Analisis dari Segi Struktural
Analisis puisi dari segi strukturnya terbagi menjadi 2 unsur pembentuknya. Adapun 2 unsur pembentuk puisi terdiri dari :
1. Struktur Fisik
Struktur fisik terdiri dari :
a.       Diksi
Diksi adalah pilihan kata yang bisa diusahakan penyair dengan secermat mungkin. Dalam puisi “Usia 44” ini diksi yang digunakan penyair sangatlah tepat. Karena disini penyair banyak menggunakan makna konotatif, sehingga pembaca akan sulit mengartikan makna yang ada dalam puisi tersebut.
a.       Citraan/ daya dukung
Citraan/daya dukung adalah kemampuan kata-kata yang dipakai pengarang dalam mengantarkan pembaca untuk terlibat atau mampu merasakan apa yang dirasakan penyair, maka maka penyair menggunakan segenap kemampuan imaginasinya, kemampuan melihat, dan merasakan dalam membuat puisi.
Dalam puisi “Usia 44” ini kata-kata yang digunakan pengarang sangatlah kuat, karena kekuatan kata-katanya mampu mewakili keadaan yang sebenarnya. Dimana penyair menggunakan citraan penglihatan, pendengaran, penciuman, intelektual, gerak, lingkungan, dan juga kesedihan.
b.      The concrete word (kata-kata konkret)
Kata-kata konkret adalah kata-kata yang jika dilihat secara denotative sama tetapi secara konotatif mempunyai arti yang berbeda sesuai situasi dan kondisi pemakaiaannya. Adapun kata-kata konkret dalam puisi ini terdapat pada bait : 
Dua kursi kurus duduk gelisah
Dibawah pohon hujan di pojok halaman
Dalam bait ini kata-kata konkretnya adalah kursi dan pohon. Sehingga pembaca akan lebih mudah untuk memahaminya.
c.       Figurative language (gaya bahasa)
Gaya bahasa adalah cara yang digunakan penyair untuk membangkitkan dan menciptakan imagi dengan menggunakan gaya bahasa (perbandingan, kiasan,perlambangan). Dalam puisi ini gaya bahasa yang digunakan penyair adalah gaya bahasa personifikasi. Terbukti pada bait ke-1, ke-3, dank ke-7 yaitu :
Dua kursi kurus duduk gelisah
Dua ekor celana terbang rendah
Dua ekor celana, dua ekor sepi
d.      Rima dan Rhythm (sajak dan irama)
Dalam puisi ini menggunakan nada, tempo, dinamika yang meluapkan perasaan penyair yang gigih dan penuh perjuangan dalam menghadapi tantangan. Sehingga irama yang digunakan dalam puisi ini adalah iranma tetap dan berimajinasi.

2.
Struktur Batin
a)      Sense (tema/arti)
Puisi “Usia 44” ini bertemakan sebuah kegelisahan seorang yang sudah mulai lanjut usianya. Sekan-akan tak ada lagi yang bisa dikerjakan dan keputus asahannya membuat dirinya kurang percaya diri.
b)      Felling (rasa)
Dalam puisi ini penyair ingin menyampaikan sebuah perasaan sedih dan akhirnya penyair membuat felling bahagia di akhir baitnya. Namun semua itu tidaklah mudah dalam menghilangkan kesedihan dan keputus asahan seorang yang sudah lanjut usianya.
c)      Tone (nada)
Dalam puisi ini nadanya memberikan sugesti kepada pembaca agar terasa dalam pengalaman penyair. Dengan menggunakan nada penyair bisa memberikan sugestinya kepada pembaca seperti : “dan berkicau saja mereka sepanjang petang”.

source: di sini dan di sini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar